
Kendala Pedagang Kerak Telor di PRJ 2025: Penurunan Omzet dan Biaya Sewa yang Tak Seimbang
Kerak telor, makanan tradisional yang tak pernah absen di perhelatan Pekan Raya Jakarta (PRJ), tahun ini menghadapi tantangan yang cukup berat. Meski tetap menjadi salah satu ikon kuliner Jakarta, sejumlah pedagang kerak telor mengeluhkan penurunan omzet yang cukup signifikan selama acara PRJ 2025 di JIExpo Kemayoran. Salah satunya adalah Sandi (21), seorang pedagang yang sudah meneruskan usaha sang ayah sejak lulus sekolah pada 2021.
Omzet Menurun, Pembeli Tergerus Tiket Mahal
Sandi, yang menjual kerak telor di pintu 6 JIExpo Kemayoran, mengungkapkan bahwa tahun ini penghasilannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. “Tahun kemarin mah alhamdulillah, bisa dapat hampir Rp 10 juta selama PRJ. Sekarang, Rp 5 juta juga susah,” ujar Sandi dengan nada kecewa saat ditemui Menurutnya, salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan omzet adalah mahalnya harga tiket masuk PRJ yang kini dibanderol Rp 60.000.
Baca Juga : Keamanan Pasien Terjamin, Operasional Layanan Farmasi Tidak Terganggu
“Pengunjung sekarang berpikir ulang untuk masuk. Mereka sudah bayar tiket mahal, belum makan dan beli ini-itu. Jadi orang lebih irit dan memilih jajan di luar,” lanjut Sandi. Hal ini berimbas pada jumlah pengunjung yang berbelanja di dalam area PRJ, yang menurutnya cenderung lebih sedikit daripada tahun sebelumnya.
Perubahan Pola Pengunjung di PRJ 2025
Tahun lalu, Sandi mengaku suasana sekitar lapaknya sudah ramai sejak sore hari, dengan pengunjung yang datang untuk menikmati makanan khas Jakarta ini. Namun tahun ini, suasana jauh berbeda. “Sekarang, sepi banget sampai malam. Kalau tahun lalu, bisa habis 100 butir telur sehari. Sekarang, cuma sekitar 50 butir,” ujar pria asal Jawa Barat ini.
Penurunan jumlah pengunjung tersebut mempengaruhi daya beli masyarakat, yang pada gilirannya membuat pedagang seperti Sandi kesulitan untuk memenuhi target omzet. Dalam situasi normal, Sandi bisa menjual hingga dua kali lipat dari jumlah telur yang ia bawa. Namun sekarang, dirinya terpaksa beradaptasi dengan kondisi pasar yang lebih sepi.
Biaya Sewa Lapak yang Tak Seimbang dengan Durasi Acara
Selain itu, satu masalah lain yang turut membebani pedagang adalah biaya sewa lapak yang tetap tinggi meski durasi PRJ tahun ini lebih pendek dari biasanya. Sandi menjelaskan bahwa untuk lapaknya di kawasan antara pintu 6 dan 7 JIExpo Kemayoran, ia tetap harus membayar sewa sebesar Rp 700.000, meski hanya beroperasi selama 25 hari.
“Bayar Rp 700.000, tapi ini cuma 25 hari. Tahun lalu juga segitu, tapi bisa sebulan penuh. Jadi kayak rugi juga,” jelasnya. Kondisi ini jelas memberatkan pedagang seperti Sandi, yang kini harus berjuang dengan penghasilan yang jauh lebih rendah. Meski harga sewa tetap, pendapatan yang tidak sebanding membuat beberapa pedagang merasa seperti dipaksa untuk tetap bertahan meski dengan kerugian yang cukup signifikan.
Dampak bagi Pedagang Tradisional
Tantangan yang dihadapi Sandi ini adalah gambaran umum yang dirasakan oleh banyak pedagang makanan tradisional lainnya yang turut merasakan dampak dari perubahan kebijakan tiket masuk PRJ 2025. dan mencari makanan di luar area PRJ semakin meningkatkan kesulitan para pedagang makanan tradisional.
Harapan Pedagang untuk PRJ Selanjutnya
Melihat situasi yang ada, Sandi dan rekan-rekannya berharap ada perhatian lebih dari penyelenggara PRJ terhadap kondisi mereka. Penurunan jumlah pengunjung serta ketidakcocokan antara biaya sewa dan pendapatan yang diperoleh menjadi tantangan besar bagi mereka. “Semoga tahun depan ada perubahan. Kalau bisa, harga tiket turun atau biaya sewa lapak bisa lebih terjangkau,” harap Sandi.
Bagaimanapun, kerak telor tetap menjadi bagian dari sejarah kuliner Jakarta yang tak bisa dipisahkan dari perhelatan PRJ.
